Oleh: Ulfa Lathifatul Nursolikhah
Melansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Menurut hukum di Indonesia, Korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain, lebih perorangan maupun korporasi yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Korupsi bisa disebut sebagai penyakit sosial endemic (Campos and Bhargaya 2007). Hal tersebut merupakan suatu penyakit yang berimbas pada rusaknya struktur pemerintahan dan kenegaraan serta merusak fungsi negara yang vital. Dalam istilah transparansi internasional, “Korupsi merupakan suatu tantangan terbesar dunia zaman kini. Hal ini merusak pemerintahan yang baik, secara fundamental menyimpang dari kebijakan publik, mengarah pada penyalahgunaan sumber daya, merugikan sektor swasta, pembangunan sektor swasta dan khususnya melukai masyarakat miskin”. Korupsi sendiri bisa dibagi menjadi tiga, yaitu korupsi politik, korupsi sektor pelayanan publik dan politik sumber daya alam (SDA).
Pada definisi yang diberikan banyak ilmuan, korupsi politik merupakan setiap transaksi diantara pelaku sektor swasta dan publik melalui barang-barang kolektif yang melanggar hukum yang diubah ke dalam hadiah untuk kepentingan pribadi. Dalam definisi yang kebih tegas, korupsi politik mencakup pembuatan kebijakan politik. Korupsi politik terjadi ketika politisi dan badan negara berhak membuat dan menegakkan Undang-Undang dalam nama masyarakat merupakan mereka yang melakukan korupsi. Korupsi politik terjadi ketika pembuat keputusan politik menggunakan kekuasaan politik yang dipegang oleh mereka unruk mempertahankn kekuasaan, status dan kekayaan merek. Korupsi sektor pelayanan publik menjadi lahan subur bagi para birokrat dan semua orang yang ada di dalamnya, mengingat penyelenggaraan publik merupakan kewajiban pokok pemerintah (birokrasi negara). Sejauh ini telah diketahui secara umum bahwa areal yang paling banyak bersentuhan dengan sektor pelayanan publik terkait kepentingan dan kebutuhan publik adalah areal di mana aparatur negeri sipil bekerja sehingga, lembaga birokrasi sipil seperti kelurahan, kecamatan dan kabupaten. Maka tidaklah heran jika dalam pelaksaan pelayanan publik terjadi tindak korupsi yang menyeret orang-orang di dalamnya.
Korupsi sumber daya alam (SDA), tindak korupsi di sumber daya alam saat ini menjadi hal yang sangat mungkin terjadi mengingat kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia sangatlah kaya dan beragam, baik di segi lahan, pengolahan sampai dengan produk, semua sangatlah menjajikan. Dikutip dari Wikipedia sumber daya alam (SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 pasal 5, menyebutkan bahwa sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya hayati, sumber daya non hayati dan sumber daya lingkungan. Berkaitan dengan tindak pidana korupsi di Indonesia, usaha untuk memberantas tindak pidana korupsi itu sendiri sudah dibahas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1971, dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang menjelaskan tentang korupsi dan sanksi pidana yang disebutkan pada pasal 2 sampai pasal 20. Kemudian pada bab IV pada pasal 25 sampai pasal 40 memuat tentang formal bagaimana pelaksanaan ketentuan materialnya. Namun kenyataannya korupsi masih masif terjadi terutama korupsi sumber daya alam. Sektor sumber daya alam berkontibusi sekitar 10,89% (Rp1,480 T) dari total PDB Indonesia 2017 Rp 13.589 T, dengan penyerapan tenaga kerja 37,31 juta orang. Kontribusi pajak dan PNBP hanya Rp 99,91 T atau 3,87%.
Korupsi sumber daya alam rentan terjadi dengan permulaan suap yang dilakukan oleh para investor ketika mengajukan perizinan. Idealnya pemberian izin tata kelola kawasan hutan untuk kepentingan industri perkebunan dan pertambangan bertujuan mengurangi dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat serta menghasilkan pendapatan negara. Namun, dalam pelaksanaannya sering terjadi korupsi suber daya alam dengan pola atau metode yang terjadi, antara lain : 1) memberikan suap untuk mendapatkan rekomendasi tukar-menukar Kawasan hutan, 2) pengajuan revisi alih fungsi hutan menjadi bukan Kawasan hutan, 3)penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada areal yang diberikan izin usaha Pemanfaatan Kayu dan Hutan Tanaman (UIPHHK-HT), 4) proses permohonan alih fungsi hutan lindung menjadi industry ekstratif. Sehubung dengan hal itu berdasarkan study dari Universitas Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa korupsi yang berkaitan dengn perizinan konsensi lahan dan kehutanan menempati urutan pertama dalam daftar pola korupsi Pemerintah Daerah tahun 2018.
Korupsi sumber daya alam dapat dibuktikan di sektor kehutanan dengan suap perizinan pertahun mencapai angka 688 juta – 22 milyarr per tahun. Potensi BNBP sektor kelautan Rp 70 triliun/tahun, namun BNBP Rp 230 miliyar/tahun. Di sektor perkebunan kelapa sawit WP orang pribadi hanya 6,3% dan WP badan sebesar 46,3%.

Gambar: Hariadi Kartodihardjo
Permulaan dari korupsi sumber daya alam adalah ijon politik. Politik ijon terjadi karena adanya kesepakatan antara pengusaha atau korporasi sebagai penyagga dana politik dengan para politisi (kadidat, parpol, timses) yang berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah. Bantuan dana politik inilah yang kemudian hari “dibayar” oleh para politisi pemenang Pilkada dengan memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana, mulai dari kelancaran perizinan, jaminan politik dan keamanan, pelonggaran kebijakan, tender proyek, bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.
Menurut laporan Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015, biaya untuk menjadi Wali Kota/Bupati sekitar Rp20 sampai Rp30 miliar. Sedangkan menjadi Gubernur mencapai Rp 20 sampai Rp 100 miliar. Tidak semua calon tersebut memiliki kekayaan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. “Sehingga, mencari sponsor atau penyokong dana. Di lain sisi, kondisi tersebut menjadi peluang pemilik perusahaan untuk menjadi sponsor. Ini bisa dilihat dari lonjakan pemberian izin menjelang atau sesudah pilkada”. Karena itu, Pilkada sebagai ruang perebutan sumber daya alam bagi elit politik, kroni, dan korporasi. Bukan menjadi ruang untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Dugaan adanya “modus ijon politik” dalam Pilkada 2018 dengan cara mempermudah ijin usaha penambangan (IUP) oleh petahana yang tidak dapat maju dalam Pilkada dikemukakan oleh Sikap Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Walhi Jawa Barat. Di Bandung, Ki Bagus Hadi Kusuma, salah seorang aktivis JATAM mengatakan, terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjelang Pilkada Serentak patut diduga menjadi modus ijon politik antara politisi, baik itu kandidat, tim sukses ataupun partai politik, dengan para pebisnis pertambangan. Sebanyak 34 IUP telah diterbitkan oleh Gubernur Jawa Barat pada 31 Januari 2018. Sementara itu, Dadan Ramdan yang juga Direktur Walhi Jawa Barat) mengatakan, dalam konteks Pilgub Jawa Barat, terdapat 34 Izin Pertambangan yang dikeluarkan oleh Pemprov Jawa Barat. Rincianya 4 IUP eksplorasi, 7 IUP produksi perpanjangan, 21 IUP dan 2 izin produksi baru. Perpanjangan izin dan pengeluaran izin baru tersebut, ada indikasi kuat dengan kepentingan politik kandidat yang didukung oleh petahana.
Akar masalah dari ijon politik ini adalah politik uang. politik uang digunakan untuk menggambarkan praktik yang merujuk pada distribusi uang (uang tunai dan terkadang dalam bentuk barang) dari kandidat kepada para pemilih. Tidak hanya pemilih, penyelenggara pemilihan juga turut menjadi bagian dari sasaran praktik politik uang. Politik uang juga dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara dalam proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa terjadi dalam jangkauan yang lebar, dari Pilkades hingga Pemilu suatu negara.
Praktik politik uang dalam Pilkades merupakan realitas sosial dan politik yang memiliki pola-pola (pattern) tertentu. Praktik politik uang dapat dipahami sebagai salah satu aktivitas yang berulang dan memiliki pola atau bentuk sehingga dapat diidentifikasi modus operandinya. Modus operandi adalah cara melaksanakan atau cara bertindak. Praktik politik uang terjadi dengan pola yang beragam dalam Pilkades, Pilkada, Pileg (Pemilu Legislatif), dan Pilpres. Hasil pemantauan Transparency International Indonesia (TII) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyimpulkan bahwa modus operandi politik uang berlangsung dengan pola-pola tertentu dan beragam; pertama, ada yang dilakukan dengan cara yang sangat halus sehingga para penerima uang tidak menyadari telah menerima uang sogokan, dan kedua, ada juga dengan cara yang sangat mencolok (terang-terangan) di depan banyak orang.
Ketika mengulas tentang politik uang dalam pemilu, maka itu artinya kita memandang UU pemilu dalam sudut pandang hukum pidana. Terkait dengan itu, ada 3 bagian penting yang biasa disebut sebagai trias hukum pidana yakni tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan stelse pidana. Kusus mengenai tindak pidana poitik uang, diatur pada pasal 523 peraturan a quo. Agar lebih konkrit, penulis akan mengutip ketentuan tersebut secara lengkap yakni sebagai berikut:
-Pasal 523 ayat (1) berbunyi: setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24. OOO. OOO, OO (dua puluh empat juta rupiah).
-Pasal 523 ayat (2) berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
-Pasal 523 ayat (3) berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan ataumemberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tigapuluh enam juta rupiah).
Komentar penulis mengenai kasus korupsi sumber daya alam adalah: 1) Akar permasalahan masifnya korupsi sumber daya alam (SDA) politik uang guna menduduki kursi jabatan di awal pencalonan sehingga mendorong perusahaan atau orang yang mempunyai modal untuk memberi sponsor kepada calon yang mana suatu saat sponsor itu harus dibayar oleh para politisi pemenang pilkada dengan kesepaktan yang menjamin kelangsungan bisnis merek, 2) minimnya sosialisasi yang berkaitan dengan apa itu politik dan korupsi, sehingga masyrakat seolah-olah sengaja dibuat tidak faham dengan hal tersebut sehingga dengan mudah para politisi melakukan penyuapan dan korupsi.
Daftar Pustaka
Indriati, Etty. 2014. Pola dan Akar Korupsi Menghancurkan Lingkaran Setan Dosa Publik. Jakarta:Gramedia.
Adelina, Fransiska. 2019. Bentuk-Bentuk Politik. Jurnal Legislasi Indonesia. 16: 60-75.
Hadi, Kisno. 2010. Korupsi Birokrasi Pelayanan Publik di Era OtonomI Daerah. 7: 51-70.
Satria, Hariman. 2019. Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Jurnal Anti Korupsi Integrasi. 5(1): 1-14.
Khusni, Deviria Arofatul. 2018. Politik Uang dan Patronase dalam Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) Cangakan Kecamatan Karseman Kabupaten Ngawi tahun 2013