A. Pengertian Aqidah
Aqidah
adalah pondasi untuk mendirikan bangunan spiritual. Semakin tinggi bangunan
yang akan didirikan, maka semakin kokoh pondasi yang harus dibuat. Seorang yang
memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib,
memiliki akhlak mulia dan mu’amalah yang baik.
Aqidah adalah bentuk
masdar dari kata “’aqoda ya’qidu,
‘aqdan, ‘aqidatan”, yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, perjanjian dan
kokoh. Sedang secara teknis aqidah
berarti iman, kepercayaan dan keyakinan. Dan tumbuhnya kepercayaan tentunya di
dalam hati,. sehingga yang dimaksud aqidah adalah kepercayaan yang menghujam
atau tersimpul di dalam hati.
Aqidah
secara bahasa berarti ikatan, secara
terminologi berarti landasan yang mengikat, yaitu keimanan, itu sebabnya
ilmu tauhid disebut juga ilmu aqaid (jama aqidah) yang berarti ilmu mengikat.
Ajaran Islam sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran dan al-Hadis merupakan
ketentuan-ketentuan dan pedoman keimanan. Keimanan adalah suatu sikap jiwa yang
diperoleh karena pengetahuan yang berproses sedemikian rupa sehingga membentuk
tata nilai (norma) maupun pola perilaku seseorang. Oleh karena itu struktur
aqidah dan syari,ah tidak hanya benar sebagaimana adanya menurut agama, akan
tetapi, benar juga menurut kaidah ilmu (Darajat, 1993:299). Terdapat beberapa
definisi tentang aqidah yang dikemukakan oleh bebebrapa ahli, seperti;
a. - Machnun Husein, aqidah adalah kepercayaan
yang timbul dari pengetahuan dan keyakinan. Dan orang yang “mengetahui” dan
menempatkan kembali kepercayaan kuat akan Keesaan Allah, sifatsifat-Nya,
hukum-hukum-Nya, petunjuk wahyu dan aturan-aturan hukum Ilahi mengenai pahala
dan siksa, disebut mu’min (orang beriman). Keimanan ini selamanya akan
membimbing orang bersangkutan kepada kehidupan yang penuh dengan kepatuhan dan
penyerahan kepada Kehendak Allah, dan orang yang menjalani kehidupan penuh
dengan penyerahan diri ini dikenal juga sebagai muslim.
b. - Hasan al-Banna, mendefinisikannya bahwa aqidah
merupakan sesuatu yang mengharuskan hati Anda untuk membenarkannya, yang
membuat jiwa Anda tenang, tentram kepadanya dan yang menjadikan Anda bersih
dari kebimbangan.
c. - Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Burnikan,
memberi penjelasan bahwa kata ‘aqidah’ telah melalui beberapa proses
perkembangan makna, yaitu sebagai berikut: Tahapan pertama, aqidah diartikan
sebagai berikut: 1) Tekad yang bulat (al-azm al-muakkad) 2) Mengumpulkan
(al-jam’u) 3) Niat (al-niyah) 4) Menguatkan perjanjian 5) Sesuatu yang diyakini
dan dianut oleh manusia baik itu benar atau batil.4 Tahapan kedua, perbuatan
hati (sang hamba). Kemudian, aqidah didefinisikan sebagai keimanan yang tidak
mengundang kontra. Maksudnya membenarkan bahwa tidak ada sesuatu selain iman
dalam hati sang hamba, tidak diasumsi selain, bahwa ia beriman kepada-Nya.
Tahapan ketiga, di sini aqidah telah memasuki masa kematangan. Ia telah
terstruktur sehingga disiplin ilmu dengan ruang lingkup permasalahan tersebut.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Menurut Hasan Al-Banna,
ruang lingkup Aqidah Islam meliputi: ilahiyyat, yaitu pembahasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan Allah seperti wujud Allah, sifat Allah, nama
dan perbuatan Allah dan sebagainya.
Nubuwwat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
Nabi dan Rasul, pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah yang dibawa rasul, mu'jizat
rasul dan lain sebagainya. Ruhaniyat,
yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti
jin, iblis, syaitan, roh, malaikat dan lain sebagainya. Sam'iyyat, yaitu pembahasan tentang segala
sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'i, yakni dalil naqli berupa
al-Quran dan as-Sunnah seperti alam barzakh, akhirat dan azab kubur,
tanda-tanda kiamat, surga- neraka dsb.
Adapun
penjelasan ruang lingkup pembahasan aqidah yang termasuk dalam Rukun Iman,
yaitu:
a. - Iman kepada Allah
Pengertian iman kepada Allah adalah:
membenarkan dengan yakin akan adanya Allah, membenarkan dengan yakin
keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam, makhluk seluruhnya,
maupun dalam menerima ibadah segenap makhluknya, membenarkan dengan yakin,
bahwa Allah bersifat dengan segala sifat yang sempurna, suci dari sifat
kekurangan dan suci pula dari alamat segala yang baru (makhluk). Dengan demikian setelah kita mengimani Allah,
maka kita membenarkan segala sesuatu yang dilakukan, melaksanakan segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya, menyatakan bahwa Allah Swt
bersifat dari segala sifat, dengan ciptaan-Nya di muka bumi sebagai bukti
keberadaan, kekuasaan, dan kesempurnaan Allah Swt .
b. - Iman Kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat yang mempercayai bahwa
Allah mempunyai makhluk yang dinamai “malaikat" yang tidak pernah durhaka
kepada Allah, yang senantiasa melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baik dan
secermat-cermatnya. Lebih tegas, iman malaikat yang beritikad adanya malaikat
yang menjadi perantara antara Allah
dengan rasul-rasul-Nya, yang membawa wahyu kepada rasul-rasul-Nya. Di dalam
Al-Qur'an banyak ayat yang menyeru kita mengimani sejenis makhluk yang gaib,
yang tidak dapat dilihat oleh mata, tidak dapat dirasa oleh panca indera , makhluk yang dinamai malaikat Malaikat
selalu memperhambakan diri kepada Allah dan patuh akan segala perintah-Nya,
serta tidak pernah kitab kitab maksiat dan durhaka kepada Allah swt.
c. - Iman kepada kitab-kitab Allah
Keyakinan
kepada-kitab Allah Keyakinan kepada-kitab suci merupakan rukun iman ketiga Kitab-kitab suci itu memuat wahyu Allah
Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah beritikad bahwa Allah menurunkan
beberapa kitab kepada Rasulnya, bai k
yang berhubungan dengan "itikad hubungan yang berhubungan dengan muamalat
dan siyasah, untuk menjadi baru hidup manusia.
Baik untuk akhirat, maupun untuk dunia, baik secara individu maupun
masyarakat. Jadi, yang dimaksud dengan
mengimani kitab Allah isyarat mengimani yang diterangkan oleh Al-Qur'an dengan
tidak menambah dan mengurangi.
Kitab-kitab yang diturunkan Allah telah turun banyak, sebanyak
rasulnya. Akan tetapi, yang masih ada
sampai sekarang nama dan hakikatnya hanya Al-Qur'an. Sedangkan yang masih ada namanya saja adalah
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil kepada Nabi Isa, dan Zabur
kepada Nabi Daud.
d. - Iman kepada Nabi dan Rasul
Yakin
pada para Nabi dan rasul merupakan rukun iman keempat. Perbedaan antara Nabi dan Rasul terletak pada
tugas utama. Para nabi tuntunan berupa
wahyu, tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk menerima wahyu itu kepada umat
manusia. Rasul adalah Utusan Allah yang
berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterima kepada umat manusia. Dalam Al-Qur'an referensi nama 25 orang Nabi,
beberapa di antaranya berfungsi juga sebagai rasul, yaitu (Daud, Musa, Isa,
Muhammad) yang berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterima kepada manusia dan
menunjukkan cara pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
e. - Iman kepada Hari Akhir
Rukun
iman yang kelima adalah keyakinan kepada hari akhir. Keyakinan ini sangat penting dalam kesatuan
kesatuan rukun iman lainnya, karena tanpa mempercayai hari akhirat sama dengan
orang yang tidak mempercayai agama Islam, hari akhirat merupakan hari yang
tidak diragukan lagi. Hari akhirat
adalah hari pembalasan yang pada hari itu Allah menghitung perbuatan setiap
orang yang sudah dibebani tanggung jawab dan memberikan putusan ganjaran sesuai
dengan hasil perbuatan selama di dunia.
f. - Iman kepada qadha dan qadar
Dalam menciptakan sesuatu, Allah selalu
menurut sunnahnya, yaitu hukum sebab akibat.
Sunnahnya ini adalah tetap tidak berubah-ubah, kecuali dalam hal-hal
khusus yang sangat jarang terjadi.
Sunnah Allah ini mencakup dalam ciptaannya, baik jasmani maupun yang
bersifat rohani. Makna qadha dan qadar
ialah aturan umum berlakunya hukum sebab akibat, yang ditetapkan oleh
Allah. Definisi isinya segala ketentuan,
undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT, untuk segala
yang ada.
C. Sumber Hukum Aqidah
Islam
Dua sumber pengambilan dalil penting jika ditelaah melalui
tulisan para ulama dalam menjelaskan aqidah.
a. - Dalil asas dan inti yang mencakup Al-Qur’an,
As-Sunnah dan Ijma’ para ulama.
b. - Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat
manusia dan fitrah kehidupan yang telah diberikan oleh ALLAH SWT.
Adapun penjelasannya
sebagai beikut:
1. Al-Qur’an
sebagai sumber aqidah
Firman
ALLAH SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah melalui perantara malaikat
Jibril. Di dalamnya ALLAH telah menjelaskan segala sesuatu yang telah
dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia dan di akhirat. Ia
merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi
orang-orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Sebagaimana
Firman ALLAH dalam QS.Al-An’am:115.
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِهٖ
ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar
dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah Firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar dan
Maha Mengetahui”.
Al-imam
Asy- Syatibi mengatakan Bahwa sesungguhnya ALLAH telah menurunkan syariat ini
kepada Rasul-Nya yang didalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang
dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan diatas
pundaknya, termasuk didalamnya perkara aqidah. Allah menurunkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum aqidah karena Allah mengetahui kebutuhan manusia sebagai
seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati
akan ditemui banyak ayat dalam Al-Qur’an yang dijelaskan tentang aqidah, baik
secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib
jika kita mengetahui dan memahami aqidah yang bersumber dari Al-Qur’an. Kitab
mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang hak dan tidak
pernah sirna ditelan masa.
2. As-Sunnah sumber kedua
Seperti
halnya Al-Qur’an, As-Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah Swt
walaupun Lfadznya bukan dari Allah tapi maknanya datang darinya. Hal ini
diketahui dalam firman Allah QS. An-Najm: 3-4.
(4) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى)3( اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ
“dan tidaklah yang diucapkan-Nya itu (Al-Qur’an)
menurut keinginan-Nya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya.”
Rasulullah
saw bersabda,”tulislah demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak
keluar dari-Nya kecuali kebenaran sambil menunjuk lidahnya” (HR. Abu dawud)
Yang
menjadi persoalan adalah banyaknya hadits lemah yang beredar ditengah umat
dianggap “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah saw dinisbahakan kepada
beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh
musuh-musuh ALLAH untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, maha
suci ALLAH yang telah menjaga kemurnian As-Sunnah hingga akhir zaman melalui
para ulama ahli ilmu.
Selain
melakukan penjagaan terhadap ahli sunnah, ALLAH telah menjadikan As-Sunnah
sebagai sumber hukum.dalam Agama. Kekuatan As-Sunnah dalam menetapkan syari’at
termasuk perkara aqidah ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, diantaranya
firman ALLAH dalam QS.An-nisa:59.
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ
مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ
اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ
تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
Firman
Allah di atas menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim
untuk mengambil sumber-sumber hukum aqidah dari As-Sunnah dengan pemahaman
ulama. Ibnu Qayyim juga pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya
dan mentaati Rasul-Nya dengan mengulangi kata kerja (taatilah)yang menandakan
bahwa menaati Rasul wajib secara independen tanpa harus mencocokkan terlebih
dahulu dengan Al-Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan
tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.
3. Ijma’ para Ulama
Sumber
aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid Umat Muhammad saw setelah
beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang
sekedar tahu tentang ilmu tetap juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan
dengan ijma’, Allah swt berfirman dalam QS.An-Nisa:115.
وَمَنْ
يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ
مَصِيْرًا ࣖ
“dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan masukkan
ia kedalam Neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Imam
Syafi’I menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disunnatkannya
Ijma’, yaitu diambil dari kalimat “Jalannya orang-orang yang beriman” yang
berarti Ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil Syar’I yang
wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan
larangan menyelisihi Rasul.
Di
dalam pengambilan Ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak
boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih karena perkara aqidah adalah perkara
tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi
Ijma’ adalah menguatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menolak kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga menjadi qotha’i.
4. Akal Sehat Manusia
Selain
ketiga sumber diatas, akal juga menjadi sumber hukum aqidah dalam Islam. Hal
ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya
sesuai dengan kedudukannya, dengan cara memberikan batasan dan
petunjuk kepada akal agar tidak terjebak kedalam pemahaman-pemahaman
yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan
dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama
Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan
membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa
dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan : “akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan
kesempurnaan beramal dengan keduanyalah ilmu dan dan amal menjadi sempurna,
hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri . di dalam jiwa ia berfungsi sebagai
sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika
mendapatkannya cahaya Iman dan Al-Qur’an seperti mendapat cahaya matahari dan
api. Tetapi jika berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu
dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur
kebinatangan”.
Eksistensi
akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara
nyata yang memungkinkan panca indra untuk menangkapanya. Adapun masalah-masalah
gaib yang tidak dapat disentuh oleh panca indra maka tertutup jalan bagi akal
untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak/gaib, seperti akidah tidak
dapat diketahui poleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Al-Qur’an dan As-Sunnah menjelaskan
bagaimana cara memahami dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya
adalah akal mungkin tidak bisa menerima surge dan neraka karena tidak bisa
diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia
harus meyakininya. Mengenai hal ini ibnu taimiyah mengatakan bahwa apa yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ yang menyelisih akal sehat
karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil. Sedangkan
tidak ada kebatilan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’. Tetapi padanya terdapat
kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya
dengan makna yang batil.
5. Fitrah kehidupan
Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw bersabda : “setiap anak yang lahir dalam keadaan
fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang membuat ia menjadi yahudi, nasrani, atau
majusi.( H. R. MUSLIM )
Dari
hadits dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk
menghamba kepada ALLAH. Akan tetapi bukan berarti bahwa bayi yang lahir telah
mengetahui rincian agama islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa. Tetapi
setiap mamiliki fitrah untuk sejalan dengan islam sebelum dinodai oleh
penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk
mengakui bahwa mustahil ada dua penciptaalam yang memiliki sifat dan kemampuan
yang sama. Bahkan ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeruh
kepada ALLAH seperti dijelaskan dalam firmannya: Q. S Al- Israa’:67.
وَاِذَا
مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِى الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُوْنَ اِلَّآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا
نَجّٰىكُمْ اِلَى الْبَرِّ اَعْرَضْتُمْۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ كَفُوْرًا
“dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang
semua yang biasa kamu seru, kecuali Dia. Tapi ketika Dia menyelamatkan kamu
kedaratan, kamu berpaling dari-Nya. Dan manusia memang selalu ingkar (tidak
bersyukur).”
D. Fungsi Aqidah
Manusia harus memiliki
aqidah atau kepercayaan yang benar. Aqidah adalah suatu hal yang sangat penting
bagi manusia dalam kehidupan ini. Aqidah merupakan pemelihara kesucian hati
nurani, tempat berpijak dan tali berpegang. Adapun fungsi aqidah dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Aqidah sebagai
pemelihara kesucian hati Nurani
Aqidah menolong hati
nurani, memberinya makanan dengan cahaya terang, sehingga tetap kuat, bersih
dan mempunyai pandangan yang jernih dan terang. Itu disebabkan karena orang
beriman meyakini, bahwa Allah senantiasa di dekatnya, di mana saja dia berada.
Di waktu berjalan atau menetap, di lapangan terbuka atau di tempat
persembunyian. Tuhan tetap di sampingnya dan senantiasa mengawasinya, tidak ada
yang tersembunyi bagi Tuhan, sampai hal yang sekecil-kecilnya.
b. Aqidah Menimbulkan
Perasaan Aman
Sebagaimana orang beriman
itu tidak menyesali dan menangisi masa yang lalu, dan tidak menghadapi masa
yang sedang dialaminya dengan kesal dan keluh kesah, demikian pula dia tidak menanti
masa datang dengan ketakutan dan kecemasan. Dia hidup dengan perasaan aman,
bagi orang yang mendiami surga. Itulah pengaruh aqidah, karena aqidah
menimbulkan perasaan aman.
c. Aqidah Menimbulkan
Pengharapan
Pengharapan merupakan
suatu kekuatan yang mendorong dan membukakan hati manusia untuk bekerja.
Harapan membangkitkan perjuangan, menunaikan kewajiban, menimbulkan kegiatan,
menjauhkan malas dan segan serta menimbulkan kesungguhan. Karena mengharap akan
memperoleh keridhaan Tuhan dan surga, orang beriman mau melawan hawa nafsunya
dan mematuhi perintah Tuhan. Demikianlah besarnya pengaruh harapan dalam hidup
ini.
d. Aqidah sebagai Tempat
Berpijak
Tegaknya suatu bangunan
bergantung pada landasannya. Jika bangunan itu memiliki dasar yang kuat maka
akan berdiri kokoh dengan megahnya. Begitu juga sebaliknya, jika dasarnya tidak
kuat, maka bangunan di atas akan runtuh.
e. Aqidah Membebaskan
Manusia dari yang Penghambaan kepada Sesama Makhluk
Orang yang mempunyai
aqidah yang benar, tidak akan pernah mau menghambakan dirinya kepada sesama
makhluk, walau dalam keadaan yang bagaimanapun, karena makhluk ciptaan Allah
itu hanyalah hamba Allah semata.
Fungsi aqidah identik
juga dengan fungsi agam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas dalam “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, fungsi agama adalah:
a. Fungsi Mempersatukan
Ummat
Aqidah ahlus sunnah wal Jama’ah merupakan
jalan yang paling baik untuk menyatukan kekuatan kaum muslimin, kesatuan
barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan
dunia. Hal ini dikarenakan ‘aqidah Ahlus Sunnah mampu mengembalikan mereka
kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW serta jalannya kaum Mukminin,
yaitu jalannya para Sahabat.
b. Fungsi Memupuk
Persaudaraan Agama
mengajarkan pada setiap manusia untuk selalu
hidup aman, damai dan sentosa tanpa adanya pertikaian. Agama mengajarkan untuk
menggalang tali persaudaraan dan kesatuan umat manusia. Kebersamaan dan hidup
berdampingan itulah pesan persaudaraan dari agama. Karena itu, agama sangat
menekankan untuk selalu menghormati kepada siapapun dan di manapun manusia itu
berada. Jangan sampai berjalan di muka bumi dengan congkak dan tidak menghargai
satu sama lain.
Adapun fengan mempelajari
aqidah maka membat jiwa seorang manusia menjadi tentram, Adapun fungsinya
adalah sebagai berikut:
a. menuntut dan
mngembangkan daar ketuhanann yang dimiliki manusia
b. meningkatkan keimanan
dan ketakwaan
c. memberikan ketenangan
dan ketentraman jiwa
d. memberi pedoman hidup
yang pasti
e. membentuk prinadi yang
seimbang, yaitu selalu berserah diri kepada Allah baik dalam keadaan suka
mauoun duka
f. sebagai asas
persaudaraan
E. Perinsip Aqidah Islam
Dalam Islam aqidah
merupakan masalah asasi yang merupakan misi pokok yang diemban para Nabi,
baik-tidaknya seseorang dapat ditentukan dari aqidahnya, mengingat amal sholeh
hanyalah pancaran dari aqidah yang sempurna. Karena aqidah merupakan masalah
asasi maka dalam kehidupan manusia perlu ditetapkan prinsipprinsip dasar aqidah
Islamiyah agar dapat menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Prinsip aqidah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Aqidah didasarkan atas
At-Tauhid yakni mengesankan Allah dari segala dominasi yang lain.
b. Aqidah harus
dipelajari secara terus menerus dan diamalkan sampai akhir hayat kemudian
selanjutnya diturunkan (didawakan) kepada yang lain.
c. Scope pembahasan
aqidah tentang Tuhan dibatasi dengan larangan mem-perbincangkan atau
memperdebatkan tentang eksistensi Dzat Tuhan Sebab dalam satu hal ini manusia
tidak akan pernah mampu menguasai.
d. Akal dipergunakan
manusia untuk memperkuat aqidah, bukan untuk mencari aqidah. Karena aqidah
islamiyah sudah jelas tertuang dalam aIQur'an dan as-Sunnah (Muhaimin, et all,
1994: 248-251).
Terimakasih informasinya :)
BalasHapusMenurut saya cukup bagus dan patut di ajungi jempol. Karena di halaman ini sangat sesuai dengan apa yang di ajarkan oleh agama kita.
BalasHapusSangat bagus
BalasHapus