1. Al-Qur’an
a.
Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur'an,
Qur'an, atau Quran, adalah sebuah kitab suci utama dalam agama Islam, yang umat
Muslim percaya bahwa kitab ini diturunkan oleh Tuhan, kepada Nabi Muhammad.
Kitab ini terbagi ke dalam beberapa surah dan setiap surahnya terbagi ke dalam
beberapa ayat.
-
Secara
Etimologi
Ditinjau dari segi
kebahasaan (etimologi) Al-Qur'an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang".
Kata Al-Qur'an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja
qara'a yang artinya membaca. Nama lainyan Al-Kitab yaitu tulisan, atau sesuatu
yang tertulis.
-
Secara
Terminologi
Secara terminologi
Alquran adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Muhammad yang dapat
menjadi sarana ibadah dengan membacanya.Khaldun Ibrahim Salamah (al-tsaqafah
al-islaamiyyah) yaitu perkataan Allah Swt yang bernilai mu’jizat yang turun
kepada nabi terakhir Muhammad Saw dengan bahasa Arab melalui wasilah malaikat
Jibril, tertulis dalam lembaran-lembaran, diajarkan (dipindahkan) kepada
manusia melalui jalan tawattur. Diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat An-Nas.
Al-Qur'an
adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah Saw tertulis dalam
mushhaf ditukil dari Rasulullah Saw secara mutawatir dengan tidak diragukan.
Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an antara lain:
-
Hukum-hukum
I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah swt
kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah Swt dan kepada hari
akhirat.
-
Hukum-hukum
Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak, manusia wajib
berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk.
-
Hukum-hukum
Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah
ini ada dua yaitu mengenai Ibadah dan mengenai muamalah dalamarti yang luas.
Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal
al-Syakhsyiyah ihwal perorangan atau keluarga disebut lebih terperinci
dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya.
b.
Teori
Turunnya Al-Qur’an
Teori pertama,
pada malam Lailatul Qadar Alquran dalam jumlah dan bentuk yang utuh
dan komplit diturunkan ke langit dunia (sama' al-dunnya).
Teori kedua, Alquran diturunkan ke langit dunia selama 20 malam
Lailatul Qadar dalam 20 tahun (Lailatul Qadar hanya turun sekali dalam
setahun). Al-Quran turun lengkap dari lauhul mahfudz ke langit dunia bitul
izzah kepada hati atau diri Rasulullah Saw. Komposisi A-qur’an terdiri
dari 30 juzz, 144 Surat, 6000 lebih ayat, 74.499 kata, 325.345 huruf. Selain
itu al-quran turun secara berangsur-angsur. Karena untuk menanamkan Al-quran
tersebut secara lafald dan makna agar memudahkan kaum muslimin untuk menghafal
dan memahaminya serta memahami dalil-dalil tasyri secara perlahan-lahan. Pokok
pikiran yang terkandung dalam Al-quran yaitu ketauhidan kepada Allah Swt, kisah-kisah
qur’aniyyah balasan dan pemberian pahala. Dalil kauni tentang ciptaan Allah Swt (prinsip ilmu pengetahuan)
pendidikan dan tasyri’ (ibadah dan
mu’aalah).
c.
Komposisi
dalam Ayat Suci Al-Qur’an
Menurut
Abdul Wahab Khallaaf ayat tentang amaliyyah dan ayat tentang hubungan manusia
dengan Allah Swt tidak lebih banyak jumlahnya jika dibandingaka dengan
keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat tentang ibadah sebanyak 140 dan ayat
tentang mu’amalah 228, sedangkan komposisi ayat tentang hukum berjumlah 368
kurang lebih 5-6 atau 5,8 persen, ayat tentang hubugan manusia dengan manusia
dengan manusia dalam masyarakat sebanyak 3 persen.
Ayat
hukum mu’amalah hukum perdata 70 ayat, hukum pidana 30 ayat, hukum tata negara
10 ayat, hubungan internasional 25 ayat, ekonomi keungan 10 ayat, hukum acara
13 ayat. Sedangkan sifat dari ayat mu’amalah ta’aquli; lebih terbuka; sedikit yang rinci; dapat dikembangkan
dengan akal manusia; dan perumusannya sesuai perkembangan masyarakat, kebutuhan
hukum, keadilan masa, tempat, dan waktu; serta Al-qur’an memberikan ketentuan
yang sifatnya umum.
Ayat-ayat
yang berhubungan dengan ibadah dan tentang keluarga. “Ibadah”, tidak banyak
dianalisa dan dikembangkan akal pikiran dan sifatnya tetap, tidak berubah
karena waktu, suasana, dan lingkungan, sedangkan “hukum keluarga”, jumlah 70
ayat dan lebih banyak dari ayat hukum tata negara dan hubungan internasional.
d.
Sifat
Ayat Al-Qur’an
Muhkamat
(ayat al-qur’an yang jelaskan artinya) terbagi menjadi 2 yaitu, Qath’I (tidak
bisa dita’wil) dan Dzanni (bisa dita’wil). Sedangkan mutasyabihat ayat al-quran
yang mengandung perumpamaan atau kiasa, diperlukan keilmuan ulumul qur’an untuk
menjelaskannya.
Ilmu
asbabun nuzul merupakan ilmu untuk mengetahui sebab-sebab turunya Al-qur’an
untuk memahami arti ayat-ayat Al-quran.
Sebab turunnya ayat yaitu jawaban terhadap keenganan kaum yahudi ketika
perintah menghadap kiblat turun dan kebolehan menghdap selain kiblat ketika
shalat karena perjalanan dan ketidaktahuan. Dalam turunnya ayat suci al-qur’an
ada dua ilmu yang mengkaji yaitu makkiy dan madaniy. “Makkiy”, surat dan ayat
pendek; gaya bahasa singkat dan padat; umumnya berkenaan dengan akidah; 86
surat 19 juzz. “Madaniy”, surat dan ayatnya panjang; gaya bahasanya jelas dan
lugas; umumnya berkenaan dengan norma hukum dan pembentukan dan pembinaan
masyarakat; 28 surat 11 juzz.
2. Al-Sunnah
a.
Pengertian
Al-Sunnah
Sunnah
dalam Islam mengacu kepada sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah Saw
menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan yang dilaksanakan oleh
Rasulullah Saw. Sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, setelah
Al-Quran.
Sunnah
secara etimologi bermakna perilaku atau cara berperilaku yang dilakukan, baik
cara yang terpuji maupun yang tercela. Ada sunnah yang baik dan ada sunnah yang
buruk, seperti yang diungkapkan oleh hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim
dan lainnya.
Kata
sunnah dalam pengertian terminologi fuqaha adalah salah satu hukum syariat atau
antonim dari fardhu dan wajib. Ia bermakna sesuatu yang dianjurkan dan didorong
untuk dikerjakan. Ia adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syariat agar
dikerjakan, namun dengan perintah yang tidak kuat dan tidak pasti. Sehingga,
orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang tidak
mengerjakannya tidak mendapatkan dosa kecuali jika orang itu menolaknya dan
sebagainya. Dalam pengertian ini, dapat dikatakan bahwa shalat dua rakaat
sebelum shalat shubuh adalah sunnah, sementara shalat subuh itu sendiri adalah
fardhu.
b.
Fungsi
Al-Sunnah
Fungsi
al-sunnah (al-risalah) adalah menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan
dalam al-qur’an; menejelaskan Al-quran; menafsiri serta memperinci ayat
Al-qur’an; menetapkan sesuatu hukum yang tidak terdapat di dalam Al-qur’an.
Sedangkan perbedaan hadits dan sunnah antara lain. Hadist adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw tanpa terkecuali. Hadits lebih umum
dan luas pemahamannya dari pada sunnah. Sedangkan sunnah adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau yang mempunyai akibat hukum
dan ibadah.sunnah pasti hadits hadits belum pasti sunnah.
c.
Pembukuan
Al-Sunnah
Zaman
nabi dan sahabat tidak boleh ditulis kecuali pada hal-hal tertentu (ditakutkan
al-qur’an bercampur dengan hadits). Seperti khutbah nabi pada fathul. Pada
zaman sahabat hadits berada dalam shahifah masing-masing. Zaman Umar bin Abdul
Aziz, memerintahkan muhammad ibn Syihab al-zuhriy untuk membukukan hadits tahun
99 H, takut akan hilangnya ilmu hadits dan ulama’ hadits.
• Periwayat Sunnah
- Muhammad bin Ismail al-Bukhariy (256
Hijriyah)
- Imam Muslim bin Hajjaj al- Qursyairiy (261
Hijriyah)
- Abu Daud (275 Hijriyah)
- Al-Nasa I (303 Hijriyah)
- Al-Tirmidziy (279 Hijriyah)
- Ibn Majah (273 Hijriyah)
• Pembagian Sunnah
Bagian
sunnah dibagi menjadi 2 yaitu Sanad dan matan. Sanad, silsilah ruwat dan
silsilah para perawi hadits, sedangkan matan, lubbul hadits dan isi hadits.
Sunnah
menurut sanad dibagi 2 yaitu sanad muttawatir dan ahad. Mutawatir sunnah yang
diriwayatkan dari Rasulullah Saw oleh sekelompok perawi yang menurut
kebiasaanya perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong atau
dusta. Sedangkan Ahad, sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang
atau kelompok yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir.
Syarat
sunnah muttawatir, Supaya yang meriwayatkan dalam jumlah yang banyak; supaya
ada jumlah yang banyak ini disetiap jenjang sanad; bahwa mustahil jumlah yang
banyak itu untuk bersepakat dalam kebohongan; supaya didapatkan periwayat
sunnah tersebut dengan pancaindra. Sedangkan sunnah ahad biasanya disebut juga
dengan khababul wahid.
Pembagian
sunnah mutawattir dan sunnah ahad antara lain:
-
Pembagian
sunnah mutawattir
Mutawattir lafdhi,
yaitu sunnah yang mutawattir baik yang lafadz maupun maknanya; Muttawatir
ma’nawi, yaitu sunnah yang muttawatir ma’nanya tanpa lafadz.
-
Pembagian
sunnah ahad
Ahad masyhur,
yaitu ahad yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih disetiap jenjang sanadnya;
Ahad ‘aziz, yaitu ahad yang diriwayatkan oleh 2 orang atau lebih disetiap
jenjang sanadnya; Ahad gharib, yaitu ahad yang diriwayatkan oleh 1 orang atau
lebih disetiap enjang sanadnya.
·
Sunnah
menurut diterimanya atau tingkatan hadits
-
Shahih
Sunnah yang
bersambung-sambung sanadnya dari permulaan sampai akhir diriwayatkan oleh
orang-orang yang adil dan teliti (dhabith) dari sesamanya pula dan di dalamnya
tidak terdapat keganjilan (syadz) dan iuga tidak terdapat ‘illat di dalamnya.
-
Hasan
Sunnah yang
sanadnya bersambung-sambung dan diriwayatkan oleh orang-orang yang adil,
sekalipun ketelitiannya kurang, dan tidak mengandung keganjilan, serta tidak
mengandung ‘illat.
-
Dhaif
Hadits dhaif menurut
Imam Al-Baiquni adalah "Setiap hadis yang tingkatannya berada dibawah
hadits hasan tidak memenuhi syarat sebagai hadits shahih maupun hasan
maka disebut hadits dho'if dan hadits seperti ini banyak sekali
ragamnya”.
-
Palsu
hadits
palsu adalah hadits yang di dalam sanadnya umumnya ada seorang
atau beberapa orang rawi yang pendusta. Sedangkan hadits yang tidak
ada asalnya ialah hadits yang tidak mempunyai sanad untuk diperiksa.
3.
Al-Ra’yu
a.
Pengertian
Al-Ra’yu
Ra'yu
adalah salah satu cara umat Islam untuk menetapkan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan
kontemporer yang belum didapati dalam Alquran dan Hadis. Manusia memiliki akal
yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap berpegang teguh pada
Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra'yu. Secara etimologi kata (ra’yu)
berasal dari bahasa Arab yang berarti “melihat”. Menurut Abu Hasan kata ra’yu
memiliki arti pengelihatan dan pandangan dengan mata atau hati, segala sesuatu
yang dilihat oleh manusia, jamaknya (al-Ara’). Secara terminologi, ra’yu menurut
Muhammad Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui
proses berfikir dan merenung.
Menurut
bahasa Al-ra’yu berati pendapat atau pertimbangan yang bijaksana. Al-qur’an
berulang-ulang berseru agar manusia berfikir dalam-dalam dan merenungkan
ayat-ayatnya. Al-quran mengajak manusia untuk mempergunakan pikiran dan
penalarannya mengenai persoalan-persoalan hukum. Al-ra’yu sebagai sumber hukum
Islam yang memenuhi syarat untuk berusaha berikhtiar dengan seluruh kemampuan
yang ada dalam memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat
dalam Al-qur’an, Al-sunnah dan merumuskannya menjadi suatu ketetapan hukum
untuk dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu.
b.
Dasar
Hukum Al-Ra’yu Menjadi Sumber Hukum
·
Al-Ijtihad
Menurut
bahasa, ijtihad dapat di artikan dengan bersungguh-sungguh dalam mencurahkan
semua isi pikiran. Sedangkan menurut isitilah adalah mencurahkan semua tenaga
serta pikiran dan bersungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Maka dari
itu tidak disebut ijtihad jika tidak adanya unsur kesulitan pada suatu
pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad merupakan mencurahkan semua
kemampuan dalam mencari syariat dengan menggunakan metode tertentu. Ijtihad sendiri
dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits.
Ijtihad juga menjadi pemegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Orang
yang melaksanakan Ijtihad disebut dengan Mujtahid, dimana orang tersebut adalah
orang yang ahli tentang Al-quran dan hadits.
Ijtihad
memiliki kedudukan dan legalitas dalam Islam. Oleh karenanya Ijtihad tidak
dapat dilakukan oleh sembarangan orang artinya hanya orang-orang tertentu saja yang
memenuhi syarat khusus yang boleh berijtihad. Beberapa Syarat tersebut di
antaranya yaitu:
-
Mempunyai
pengetahuan yang luas dan mendalam;
-
Mempunyai
pemahaman yang baik, baik itu bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan tarikh
(sejarah);
-
Mengetahui
cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan qiyas;
-
Mempunyai
akhlaqul qarimah.
·
Macam-macam
Ijtihad
Berikut
ini macam-macam ijtihad dilihat dari segi jumlah pelakunya yaitu:
Ijtihat fardi,
yaitu ijtihat yang dilakukan oleh individu. Contoh ijtihad Umar bin Khatab
tentang talak 3.
Ijtihad jama’i,
yaitu ijtihad yang dilakukan secara kolektif. Contoh ijtihad sahabat dalam
pembukuan Al-qur’an.
·
Dilihat
dari objek dan lapangannya
-
Berikut
ini merupakan Ijtihad dilihat dari objek
dan lapangannya
Persoalan yang
dzanniyy. Contoh ayat tentang masa iddah; Hal-hal yang tidak terdapat ketentuan
di dalam Al-qur’an dan Al-hadits. Contoh jama’ah sholat tarawih; Mengenai permasalahan
hukum baru yang timbul dalam masyarakat. Contoh masalah imunisasi.
-
Berikut
ini Syarat-syarat Mujahid
Menguasai bahasa
Arab; Mengetahui isi dan sistem hukum dalam Al-qur’an dan ulumul qur’an;
Mengetahui hadits-hadits hukum dan ulumul hadits; Memahami sumber-sumber hukum
Islam dan metode ijtihat; Mengetahui dan memahami qawaid ushul dan qawaid
fighiyyah; Mengetahui dan memahami maqashid asysyar’iyyah; Bersikap jujur dan
ikhlas. Sedangkan dalam pandangan sekarang ada 2 syarat lagi bagi mujahid yaitu
memahami ilmu-ilmu sosial dan dilakukan secara kolektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar