BAB I
A.
Latar Belakang
Hukum
isam ahir-ahir ini menjadi topik yang begitu menarik untuk dibicarakan,
mengingat baik di negara dengan sistem civil law maupun common law memiliki
kedudukan yang berbeda. tak hanya itu hukum islam juga menjadi salah satu mata
kuliah dalam fakultas hukum hal ini
tentunya menarik untuk digali lebih dalam mengenai alasan dimasukkannya hukum
islam dalam kurikulum fakultas hukum serta kedudukan hukum islam dalam hukum
nasional Indonesia
B.
Rumusan Masalah
Didasarkan
padda judul serta latar belakang pada paper ini maka rumusan masalah yang
diangkat adalah:
1. Kedudukan
Hukum Islam dalam kurikulum fakultas hukum
2. Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional Indonesia.
BAB II
Berbicara soal hukum islam, terutama hukum islam di
tengah-tengah hukum nasional maka akan terfokus pada kedudukan hukum islam
dalam system hukum nasional. Sistem hukum Indonesia sendiri merupakan sistem
yang lahir dari perkembangan sejarahnya yang majemuk. Di sebut majemuk
dikarenakan sampai saat ini di Indonesia sendiri masih berlaku beberapa system
hukum yang memiliki corak dan sususan yang berfariasi. Sistem hukum tersebut
di antaran; sistem hukum adat, sistem hukum islam dan system hukum barat.
Kata
hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur’an dan literatur hukum
dalam Islam. Yang ada dalam Al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah
dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term
“Islamic Law” dari literatur Barat. Dalam penjelasan tentang hukum Islam dari
literatur Barat ditemukan definisi hukum Islam yaitu: keseluruhan kitab Allah
yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Dari definisi ini
arti hukum Islam lebih dekat dengan pengertian syariah.
Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum
Islam dengan “koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat”. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini
mendekati kepada makna fiqh.
jika
definisi mengenai hukum dan islam dihubungkan makan hukum islam Islam berarti:
“Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah
laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua
umat yang beragama Islam”.
Dari
definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup
Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqh, karena arti syarak dan fiqh terkandung di
dalamnya.
Sebelum
membahas lebih jauh lagi mengenai kedudukan hukum islam dalam sistem hukum
nasional, saya akan membahas mengenai kedudukan hukum islam dalam kurikulum
fakultas hukum yang mana hal tersebut berfokus pada alasan atau sebab hukum islam
ada di kurikulum fakultas hukum, setelah itu barulah masuk pada pembahasan
kedudukan hukum islam dalam sistem hukum nasional Indonesia. Adapun kedua hal
tersebut akan dijabarkan di bawah ini:
1. Kedudukan Hukum Islam
dalam Kurikulum Fakultas Hukum
Adapun
pada kedudukan hukum islam dalam kurikulum fakultas hukum ini akan membahas
mengapa hukum islam masuk dalam kurikulum fakultas hukum. Adapun alasannya
adalah sebgai berikut :
a. Alasan Sejarah
Semula
di semua sekolah Tinggi Ilmu Hukum yang didirikan oleh Belanda, MK Hukum Islam
telah sekolah yang disebut Mohammedansch Rech, meskipun penamaan ini tidak
tepat. Tradisi ini dibuat oleh Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum / Fakultas Hukum setelah Indonesia Merdeka hingga sekarang
(Mardani, 2010). Istilah tersebut sebenarnya
tidak tepat, karena hukum Islam tidak bersumber dari Nabi Muhammad saw .. Hukum
Islam berbeda dengan hukum-hukum yang lain, hukum Islam merupakan hukum yang
bersumber dari agama Islam yang berasal dari Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa. Berbeda juga dengan agama-agama lain, agama
Islam yang didasarkan pada agama yang didasarkan pada pribadi penyebarnya,
tetapi kepada Allah Swt .. Doktrin agama Islam mengajarkan bahwa Allah Swt. menjadi
pusat segala-galanya. Peranan Nabi
Muhammad saw. sebagai Utusan Allah
Swt. menyampaikan ajaran dan pokok-pokok
hukum berasal dari-Nya. Oleh karena itu,
tidak tepat pula kalau hukum Islam disebut sebagai Hukum Mohammedan seperti
yang terdapat di dalam kepustakaan berbahasa Inggris.
b. Alasan Penduduk
Menurut
sensus, hampir 80 persen penduduk Indonesia “mengaku" beragama Islam.
Artinya, penduduk Indonesia pemeluk Islam. Dibanding negara lain yang
penduduknya juga beragama Islam, jumlah pemeluk Islam di yang terbesar. Karena
alasan ini sejak dahulu Para pegawai,
pejabat pemerintah atau para pemimpin yang akan bekerja di Indonesia dibekali
dengan pengetahuan keislaman. Hukum Islam dapat menjadi sumber pesanan hukum
nasional baik secara formil maupun materi. Hukum nasional juga tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam , karena
akan mendapatkan persetujuan dari umat Islam.
c. Alasan Yuridis
Hukum
Islam telah berlaku di Indonesia sejak dahulu, baik secara normatif maupun
yuridis. seperti hukum-hukum tentang
shalat, haji, puasa, zakat Hampir semua hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan secara langsung bersifat
normatif. Bahkan keinsafan akan halal
dan haramnya sesuatu merupakan sumber kesa- daran hukum bangsa Indonesia yang
beragama Islam untuk tidak melakukan kejahatan terutama yang berkenaan dengan
kejahatan perzinaan, perampokan, riba, mabuk-mabukan, dan sebagainya. Dipatuhi tidaknya hukum Islam yang berlaku
secara normatif dalam masyarakat Muslim Indonesia tergantung pada kesadaran
keimanan umat Islam itu sendiri.
Pelaksanaannya diserahkan kepada keinsafan orang Islam yang menangani.
Berlaku secara yuridis yaitu bagian pembantuan hubungan dengan manusia dan
benda. Bagian ini menjadi hukum positif
yang pelaksanaannya oleh negara, seperti hukum perkawinan, waris, wakaf, zakat,
dan sebagainya. Untuk menegakkan hukum
Islam yang telah menjadi bagian hukum positif itu, didirikan Peradilan
Agama.
d. Alasan Konstitusional
Disebutkan
dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945) bahwa: “Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak boleh terjadi / berlaku di negara
Indonesia suatu yang bertentangan dengan agama Islam bagi umat Islam,
bertentangan dengan agama Nasrani bagi orang-orang Nasrani, bertentangan dengan ajaran agama Hindu bagi orang-orang Hindu, dan bagi orang-orang Buddha
bagi orang-orang Buddha. Negara wajib menyediakan fasilitas agar hukum
yang berasal dari ajaran agama yang dipeluk Indonesia dapat terlaksana sepanjang
pelaksanaannya memerlukan bantuan alat kekuasaan. Adapun hukum Islam yang pelaksanaanya tidak
memerlukan bantuan kekuasaan negara, dapat dijalankan sendiri oleh umat Islam
dan menjadi tanggung jawab pribadi kepada Allah Swt.
e. Alasan Filosofis
Hukum
yang berlaku di Indonesia mengandung dimensi transendental dan horizontal. Hukum dalam dimensi transendental berkaitan
erat dengan substansi dan pengalaman sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa. Adapun hukum dalam
dimensi horizontal merupakan tata aturan hidup yang membina hubungan kehidupan
manusia (ordering van hetso-cial leveri).
Ada hubungan yang erat antara Pancasila sebagai falsafah negara dengan
UUD NRI 1945 sebagai Hukum Dasar, yang dijiwai oleh dan merupakan kesatuan
kesatuan dengan Piagam Jakarta, seperti dinyatakan dalam Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Hubungan ini membawa pengaruh kepada tata nilai corak dan isi hukum
yang di Indonesia (Ali, 2008). Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia yang penduduknya beragama Islam,
membawa konsekuensi bahwa hukum di Indonesia harus konsisten dengan dan
dilandasi oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak mengabaikan hukum
Islam. Dengan demikian, di dalam negara
hukum Pancasila, hukum nasional salah satu sumbernya adalah hukum Islam.
f. Alasan Ilmiah
Ajaran
agama Islam mengandung semua aspek kehidupan, termasuk aspek hukum. Aspek hukum merupakan norma- norma atau
kaidah-kaidah yang mengandung aturan bagi kehidupan umat manusia dalam menjalin
relasi manusia dengan Tuhannya, manusia sesama manusia dan manusia dengan benda
/ alam. Secara ilmiah, hukum Islam
sebagai salah satu bidang ilmu hukum telah banyak belajar, tidak saja oleh
orang Islam itu sendiri, melainkan juga oleh mereka yang tidak beragama Islam
yang disebut orientalis. Sebagai
disiplin ilmu yang berdiri sendiri, namanya dapat dijumpai dalam daftar Kode
Bidang UNESCO di bawah judul Islamic Law dengan nomor kode 5606.06. Saat ini hukum Islam telah dikembangkan di
berbagai perguruan tinggi ternama baik di dunia maupun di Indonesia.
Adapun alasan mengapa hukum islam dimasukkan dalam
kurikulum fakultas hukum menurut Mura P. Hutagalung setidak-tidaknya ada 3,
yaitu ;
1. Alasan sosiologis
Alasan
berdasarkan kemasyarakatan, yakni bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah
beragama islam. Oleh karena itu para mahasiswa hukum sebagai calon-calon
penegak hukum, perlu dibekali dengan pengetahuan dasar tentang hukum islam
sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, agar supaya manakala mereka terjun
di tengah masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum,
diharapkan dapat memeberikan keputusan yang adil sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat dimana mereka hidup bersama-sama.
2. . Alasan Historis
Alasan
berdasarkan sejarah. Ditinjau dari segi sejarahnya, ternyata hukum islam
menjadi suatu cabang ilmu hukum yang telah diajarkan sejak jaman penjajahan Belanda pada Perguruan Tinggi Hukum/Rechtshogeschool di Batavia (nama Jakarta
pada masa lampau) dengan nama Islamologi atau Momammedansche Recht.
3. Alasan Yuridis,
Alasan
berdasarkan hukum. Dari sgi Yuridis, Hukum Islam telah lama dipraktekkan oleh
masyarakat Islam Indonesia terutama di daerah-daerah yang penduduknya sangat
berpegang teguh pada ajaran Islam seperti di Aceh, Minangkabau dan
daerah-daerah lainnya.
2. Kedudukan Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia
Sistem
Hukum Islam telah lama menjadi sistem hukum di Indonesia, hal ini apabila
dilihat teori “Reception In Complexu” yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den
Breg, bahwa hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam berlaku sejak
adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum
mencampuri semua persoalan hukum yang berlakua di masyarakat. Dengan kata lain
bahwa sistem hukum Islam adalah sistem hukum yang hidup dalam masyarakat
Indonesia, baik yang bersifat normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya
bisa berupa Undang-Undang, fatwa ulama dan yurisprudensi.
Dengan
demikian jelaslah bahwa sistem Hukum Islam telah menjadi bagian dari sistem
hukum Nasional. Sesuai dengan konsep ajarnya bahwa sistem hukum Islam datang
untuk kebaikan manusia semata, sesuai dengan fitrah dan kodratnya yang
karenanya sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yang
merusak.Maka sistem hukum ini tidak membawa mudhorat (buruk) bagi umat manusia
sehingga sistem hukum Islam banyak mewarnai sistem hukum positif di Indonesia,
seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelola an Zakat dan sebagainya
Adapun
awal daripada masuknya islam adalah pada abad ke tujuh masehi yang mana ada
saat itu hukum islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkaran
masyarakat dan peradilan islam. Hamka mengajukan fakta berbagai karya ahli
Hukum Islam Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil
al-Muhtadin, Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya
tulis tersebut masih bercorak pembahasan fiqih,masih bersifat doktrin hukum dan
sistem fiqih Indonesia yang berorientasi kepada ajaran Imam Mazha.
Pada
era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam peradilan agama sudah
hadir secara formal. Ada yang bernama peradilan penghulu seperti di Jawa.
Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera. Peradilan Qadi di
Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun sangat disayangkan, walaupun pada masa
Kesultanan telah berdiri secara formal peradilan Agama serta status ulama
memegang peranan sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku
hukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang
ditarik dari kandungan doktrin fiqih.
Baru
pada tahun 1760 VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun hukum yang
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan rujukan
hukum dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat Islam di
daerah yang dikuasai VOC.
Penggunaan
Compendium Freijer tidak berlangsung lama. Pada tahun1800 VOC menyerahkan
kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda.Bersamaan dengan itu lenyap dan
tenggelam compendium itu. Lahirlah politik hukum baru, yang didasarkan atas
teori resepsi atau teori konflik Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven. Sejak
itu secara sistematik, dengan senjaga hukum Islam dipencilkan. Sebagai gantinya
digunakan dan ditampilkan hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba melaksanakan
hanya dua sistem hukum yang berlaku, yaitu hukum adat untuk golongan Bumiputera
dan hukum barat bagi golongan Eropa.
Upaya
paksaan untuk melenyapkan peran hukum Islam, terakhir ditetapkan dalam
Staatsblad 1937 Nomor 116. Aturan ini merupakan hasil usaha komisi Ter Haar,
yang di dalamnya memuat rekomendasi: (1)Hukum kewarisan Islam belum diterima
sepenuhnya oleh masyarakat.(2) Mencabut wewenang Peradilan Agama (Raad Agama)
untuk mengadili perkara kewarisan, dan wewenang ini dialihkan kepada Landraad.
(3)Pengadilan Agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad. (4)Putusan
Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir verklaring dari ketua
Landraad.
Setelah
Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakanbahwa hukum yang lama
masih berlaku selama jiwanya tidak
bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahanBelanda yang
berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan
dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an
dan sunnah Rasul.Hazairin menyebut teori receptie sebagai teori Iblis.
BAB
III
Berdasarkan pemaparan sekaligus rumusan masalah yang
diangkat, maka yang dapat disimpulkan adalah :
1. Bahwasannya alas an
mengapa hukum islam dimasukkan ke dalam kurikulum fakulad hukum adalah ada 6
alasan secara umum yaitu; alasan sejarah, alasan penduduk, alasan yuridis,
alasan konstitusional, alasan filosofis dan alasan ilmiah. Adapaun menurut Mura P. Hutagalung setidak-tidaknya ada 3,
yaitu; alasan sosiologis, alasan historis dan alasan yuridis.
2. Bahwasannya keedudukan
hukum islam dalam hukun nasional Indonesia sejainya sudah lama sekali
iterapkan, bahkan sebelum penjajahan Belanda hukum islam sudah diterapkan.
Hukum islam sendiri sejak awal kehadirannya pada abad ke 7 telah diterapkan
pada masyarakat sekaligus pengadilan. Bahkan pada piagam Jakarta sendiri telah
mengakui hal tersebut yang bisa dikatakan
Piagam Jakarta menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Kata menjiwai bisa bermakna
negatif dalam arti tidak boleh dibuat perundang-undangan dalam negara RI yang
bertentangan dengan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif
maknanya adalah pemelukpemeluk yang beragama Islam diwajibkan menjalankan
syari'at Islam. Untuk itu diperlukan undang-undang yang akan memberlakukan
hukum Islam dalam hukum nasional. Maka dari hal tersebut bahwasannya hukum
islam semenjak kehadiran agama islam telah menjadi salah satu cabang dalam
hukum nasional tersendiri, sehingga keterkaitnnya antara hukun nasional dengan
hukum nasional Indonesia adalah saling berkontribusi terhadap masing-masing
system hukum tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar