Dewasa ini gerakan feminisme terus mengalami perkembangan, walau pada prosesnya terjadi perbedaan faham mengenai bagaimana penindasa dan eksplotasi itu terjadi, namun sesungguhnya di situ ada kesamaan bahwa pergerakan wanita adalah kesamaan dan kebebasan untuk mengontrol kegidupan. Maka dengan keyakinan itulah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur seharusnya pria dan wanita bergerak dan berjuang beriringan demi mencapai kemerdekaan bagi pria dan wanita, juga manusia yang tidak memandang perbedaan kelas antara manusia dengan manusia. Dalam sejarah dunia gerakan feminisme tumbuh dengan latar belakang penurunan status perempuan oleh gereja di Eropa. Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648 terdapat konsep yang menyebutkan bahwa perempuan merupakan mahluk kelas dua di dunia. Perempuan dianggap sebagai mahluk yang tidak rasional dan ditempatkan pada peran-peran domestik. Berlatar belakang inilah dijadikan motivasi untuk terbebas dari segala bentuk kekangan dan penindasan yang menempatkan perempuan pada derajat yang rendah. Begitu pula di Indonesia kehadiran Feminisme seringkali ditakuti oleh banyak orang. Ketakutan ini muncul karena adanya paham yang berbeda dan kesalah pahaman memaknai gerakan feminisme itu sendiri.
Di Indonesia sendiri awal mula Feminisme muncul adalah sejak penerapan politik etis pada masa penjajahan belanda yang dimaksud untuk meningkatkan daya beli masyarakat hindia belanda, serta buruh murah yang cukup terdidik dari daerah jajahannya. Namun ternyata pembukaan sekolah-sekolah ini menghasilkan pemuda berpendidikan batar yang nantinya menjadi tulang punggung pergerakan sosial.
Salah satu tokoh dari gerakan feminisme di Indonesia adalah Krtini. Jauh sebelum Budi Utomo berdiri, Kartini telah menuliskan surat-suratnya. Kartini memiliki semangat yang kuat untuk dapat belajar dengan bebas. Namun sayangnya ia harus menerima kenyataan pahit, bahwa ia hanya boleh menggenyam Pendidikan sampai pada uasia 12,5 tahun. Sedangkan saudara laki-lakinya dapat terus lanjut bersekolah. Kartini hanya dapat membaca buku-buku dan surat kabar yang ada. Dengan bahasa Belanda yang telah dikuasainya, Kartini menyalurkan gairah, energi, dan kekecewanya lewat surat-surat yang ditulisnya. Gagasan utama dalam tulisannya ialah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik rakyat jelata maupun golongan atas. Kartini juga menolak poligami yang dianggap merendahkan derajat perempuan serta memperjuangkan monogami, dan lebih jauh dari itu Kartini adalah seorang feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme.
Ditilik dari sejarahnya baik di dunia maupun di Indonesia sendiri yang dipelopori oleh R.A. Krtini. Mereka bekerja untuk emansipasi, perubahan dan persamaan kedudukan wanita, dan keadilan sosial selama kurun waktu tersebut. Alasan dan tujuan di balik perjuangan mereka ini sangat beragam. Revolusi melawan kekuatan colonial, misalnya, juga sering menggunkan kemampuan dan kekuatan wanita. Tujuan gerarakn ini sangatlah jelas yaitu difokuskan pada suatu isu untuk mendapatkan hak pilih. Mereka dengan gigih memperjuangkan untuk memberikan suara, hak yang sama, status hukum dan kesempatan Pendidikan dsn kerja. Di Indonesia, misalnya pada pertengahan abad ke-19 para pemikir wanita berjuang demi pendidikan kaum wanita, mengorganisir Kongres Wanita Indonesia, dan mencita-citakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender) dalam keluarga. Selama seabad kaum wanita memperoleh hak politik yang sama sampai ketika konstitusi RI diterima pada tahun 1945, dan untuk mengakui gerakan fenimisme yang telah mengadakan pembaharuan ini maka PBB mendirikan Komisi Kedudukan Wanita pada tahun 1948. Walaupun berbeda secara kultural, namun gerakan-gerakan ini diwarnai secara mencolok oleh perjuangan demi emansipasi, baik melawan tradisi-tradisi setempat maupun melawan imperialisme kolonial yang seringkali melemahkan kedudukan kaum wanita di daerah-daerah yang dijajah. Tujuan yang mereka rumuskan secara jelas memberikan arah dan masukan bagi kegiatan gerakan praktis mereka untuk pembaharuan di segala bidang, termasuk bidang moral keagamaan (spiritual).
Menilik kondisi Indonesia saat ini, sejatinya kita sudah mendapatkan jaminan atas apa yang telah menjadi hak wanita. Melihat beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bagaimana Gerakan perempuan telah berani menyampaikan isu-isu menyampaikan kepentingannya. Diakomodasinya keinginan untuk ada kuota 30 persen bagi perempuan sebagai calon legislatif melalui Undang-Undang Pemilu 2003, disahkannya Undang-Undang No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan bertambahnya jumlah perempuan di Kabinet Indonesia Bersatu pada posisi-posisi yang tidak tradisional adalah contoh keberhasilan gerakan perempuan menyuarakan kepentingan strategis bagi perempuan. Meskipun demikian, dalam realita di lapangan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk meningkatkan akses dan kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan di ruang publik yang mempengaruhi kehidupan pribadi individu di dalam rumah tangga. Oleh karena harus diakui, gerakan perempuan masih sangat bias perkotaan dan hanya dinikmati oleh mereka yang berpendidikan. Perempuan pedesaan yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia tampaknya belum memiliki akses dan kontrol untuk menjadi bagian dari proses demokratisasi yang memberi ruang bagi para perempuan untuk memiliki otonomi atas dirinya sendiri dalam ruang publik yang bebas dominasi siapapun.
Adapun hal penting yang perlu diingat di sini adalah kesetaraan gender yang dicita-citakan oleh gerakan feminisme bukanlah mengacu pada perolehan hak istimewa bagi perempuan sehingga mengabaikan, apalagi merendahkan martabat laki-laki. Sebaliknya, hal ini harus diartikan sebagai pendefinisisan ulang terhadap peran gender dan koreksi steroeotip dan ketidak seimbangan akses gender selama ini.
Terimakasih informasinya. Sangat bermanfaat
BalasHapus